9 Februari 2009

SAYA CINTA RASA ASING, LIAR DAN INSECURE DALAM TRAVELING

Fatimah, Backpacker

Traveling sesungguhnya adalah aktifitas cultural exchange. Ini sangat saya sadari setiap kali saya backpacking. Kita harus menampilkan diri kita yang sepantasnya ke hadapan sesama traveler yang kita temui di jalan dan penduduk lokal, karena impresi mereka terhadap kita akan sangat mempengaruhi mereka dalam menilai negara kita. Acapkali saya temui, traveler lain tidak mengenal Indonesia, mereka hanya mengenal keindahan Bali dan musibah yang menimpa Aceh. Maka sudah menjadi kewajiban moral saya sebagai Indonesian traveler menceritakan Indonesia dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Meski kadang-kadang, attitude is more powerful than speaking!

Dengan traveling, kita juga bisa menyerap banyak hal sekaligus, ke dalam dan ke luar. Ke dalam (inner journey) saya bisa berdialog dengan diri saya tentang banyak hal dalam suasana yang lebih kontemplatif dan intens, karena biasanya saya lebih sering backpacking sendirian. Ke luar (outer journey), sesungguhnya para traveler itu menjadi duta negaranya sendiri. Traveling yang baik menurut saya adalah traveling yang tidak solitaire (menyendiri, mau enak sendiri, apa-apa sudah disiapkan oleh travel agent dan egois selama di perjalanan). Seyogyanya harus ada perjumpaan-perjumpaan budaya dan dialog yang terbangun antara traveler dengan orang-orang yang ia temui selama perjalanannya.

Seringkali, saya menemukan diri saya yang lain saat traveling berlangsung. Saya mencintai rasa asing, liar, insecure dan udara baru yang saya hirup. Saat traveling saya juga menguji ketahanan mental saya ketika menghadapi masalah menjelang, selama, dan sesudah traveling. Oh ya, traveling mengunjungi negara-negara lain membuat saya lebih mengapresiasi keindahan natural alam Indonesia—di luar belum seriusnya pemerintah kita menggarap kekayaan alam satu ini. Indonesia itu alamnya sungguh cantik!

Mulai disukainya buku-buku catatan perjalanan menurut saya bukanlah fenomena yang aneh, mengingat hal senada juga terjadi di dunia blog Indonesia. Setiap kali saya menuliskan kisah perjalanan saya (terlebih secara berseri), teman-teman blogger sangat bersemangat mengikutinya. Saya pikir, semua orang secara alamiah selalu tertarik dengan hal-hal baru di luar dirinya, apalagi membaca sesuatu yang sifatnya adventurous. Jika kita berkesempatan ke luar negeri (contohnya Inggris dan negara Eropa lain) buku-buku dengan genre travel literature memenuhi seperempat dari keseluruhan rak yang disediakan oleh Waterstone bookshop.

Secara sosiologis, fenomena ini menjelaskan bahwa manusia di belahan bumi tertentu ingin mengenal lebih jauh adat istiadat dan kultur manusia di belahan bumi yang lain. Buku-buku catatan perjalanan (travel literature) adalah jendela bagi orang-orang yang berminat pada aktifitas traveling. Saya pribadi sangat menyukai buku traveling yang mampu melukiskan emosi si traveler ketika bepergian, di luar aspek menginspirasi. Menurut saya ini salah satu unsur yang harus ada di setiap buku traveling, penceritaan inner journey (segala emosi yang dirasakan dan pencerapan makna yang dialami sepanjang perjalanan), tak sekadar outer journey (tempat-tempat yang didatangi dan aktifitas yang dilakukan selama traveling).

Para petualang yang tidak (belum) menuliskan pengalaman perjalanannya menurut saya pengalamannya itu tidaklah percuma. Bukankah Al Qur’an pun meminta kita berjalan di muka bumi? Faidza qudiatish shalata fantasyiru fil ardhi wab taghu min fadhlillahi katsiira. Laallakum tuflihuun. (Q.S. Al Jumu’ah ayat 10). Allah sendiri meminta kita berjalan di bumiNya (traveling) agar kita bisa memetik karunia hikmah di berbagai penjuru. Belajar kembali tentang sejarah, agama, sosiologi, politik, ekonomi berikut hasil olah budi daya dan pikir manusia-manusia di berbagai belahan dunia lainnya. Insya Allah, traveling juga bukan aktifitas menghambur-hamburkan uang. Sebab pengalaman yang kita dapat tidaklah sebanding dengan jumlah uang yang kita keluarkan. Tentu saja ada biayanya, sekecil apapun itu. Budget yang akan kita keluarkan selama traveling pun sangat tergantung pada gaya traveling kita.

Saya tidak setuju jika penulis traveling menyuguhkan informasi yang dimanipulasi, atau menciptakan kisah dramatis yang benar-benar baru, karena biar bagaimanapun orang membeli buku tersebut karena ingin menggali informasi dan hikmah yang bisa dipegang kebenarannya. Justru kenapa buku traveling saat ini diminati, menurut saya terletak pada unsur kejutan-kejutan real-nya. Barangkali orang sudah terlalu jenuh dengan karya-karya yang berdaya hayal tingkat tinggi sekaligus tak sungguh-sungguh nyata. Saya sendiri sangat berminta untuk menerbitkan catatan perjalanan saya, mohon doa dan dukungannya. [Dee]

Tidak ada komentar: