26 April 2011

Peluang dan Tantangan untuk Mengembangkan Hutan Kemasyarakatan Pengalaman dari Malinau

Godwin Limberg, Ramses Iwan, Eva Wollenberg & Moira Moeliono


Latar Belakang
Sejak tahun 1980-an telah banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan memperoleh pengakuan untuk kegiatan hutan kemasyarakatan yang sudah ada di Indonesia. Perubahan politik dengan reformasi dan pelaksanaan undang-undang otonomi daerah membuka peluang besar untuk pengembangan hutan kemasyarakatan. Untuk memanfaatkan peluang ini CIFOR telah mengadakan kegiatan di 27 desa di daerah aliran sungai (DAS) Hulu Malinau, Kalimantan Timur, sejak tahun 1999 guna meningkatkan keterjangkauan dan penguasaan masyarakat setempat terhadap manfaat hutan. Dalam tulisan ini kami menjelaskan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan hutan kemasyarakatan. Dalam tulisan ini kami mendefinisikan hutan kemasyarakatan sebagai semua sistem pengelolaan hutan dimana masyarakat ikut terlibat dalam bentuk apapun (lihat juga Warta Kebijakan nomor 9 tentang Perhutanan Sosial).
Salah satu contoh sistem hutan kemasyarakatan yang hampir sepenuhnya otonom adalah upaya masyarakat
Punan di Long Pada (hulu Sungai Tubu, Kabupaten Malinau) untuk melindungi gaharu (Aquilaria spp.) sebagai hasil hutan andalan di wilayah desa mereka dari eksploitasi oleh pihak dari luar desa. Masyarakat Long Pada tidak mengetahui status hukum hutan di wilayah desa mereka. Masyarakat Kenyah di Desa Setulang (Kabupaten Malinau) menetapkan sisa hutan primer di wilayah desa sebagai hutan lindung (tane’ olen). 
Mereka telah mulai memantau keadaan hutan untuk menghindari penyerobotan oleh pihak lain. Kalau dikelola dengan baik, hutan kemasyarakatan dapat memenuhi berbagai kebutuhan dan jasa dari hutan dan membuka peluang pendapatan. Hutan kemasyarakatan memberi peluang penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Hutan kemasyarakatan dapat mendorong pengelolaan sumber daya hutan yang berkesinambungan sambil mempertahankan jasa lingkungan seperti perlindungan daerah aliran sungai. Akan tetapi pengembangan hutan kemasyarakatan menghadapi beberapa tantangan dasar yang harus diatasi sebelum dapat diterapkan pada skala luas.

Sejak 1999 CIFOR telah mendampingi Desa Pelancau, Setulang dan Sengayan (di kecamatan Malinau Selatan) untuk mengembangkan danmenganalisa pilihan bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam pengelolaan hutan sebagai salah satu kegiatan pada lokasi penelitian jangka panjang CIFOR. Melalui pemetaan partisipatif, penggalian harapan masa depan dan diskusi, masyarakat dirangsang untuk mengkaji pemanfaatan sumber daya alam dan lahan pada saat sekarang dan peluang untuk masa mendatang.
Upaya pengelolaan pengumpulan gaharu di Pelancau Pengumpulan gaharu di wilayah desa lama di hulu Sungai Malinau (sekitar 15.000 hektar) merupakan sumber utama pendapatan masyarakat Punan Pelancau (jumlah penduduk hampir 300 jiwa).
Gaharu adalah damar dengan harum khas yang dihasilkan oleh infeksi jamur pada pohon Aquilaria spp. Gaharu dapat mencapai harga lebih dari 1.000 dollar AS per kilo untuk mutu terbaik. Pengumpulan gaharu secara berlebihan oleh pengumpul dari luar desa mengakibatkan populasi gaharu menurun drastis. Dalam diskusi tentang pilihan ekonomi ada beberapa anggota masyarakat yang tertarik untuk menanam gaharu untuk menjamin keberadaan gaharu di masa mendatang. Anggota yang lain tidak yakin kegiatan ini akan berhasil karena keadaan di kebun berbeda dari keadaan tumbuh gaharu di alam dan karena tidak berpengalaman dengan metode inokulasi. Mereka menekankan bahwa  perlu ada perlindungan terhadap gaharu yang
terdapat di wilayah desa. Mereka menyadari bahwa mereka akan menghadapi beberapa kesulitan dengan kedua pilihan tersebut. 
Pertama, mereka tidak yakin akan hak mereka untuk mengelola gaharu dan melarang pengumpul dari luar desa masuk ke wilayah desa mereka. 
Kedua, penegakan peraturan ini tidak mudah karena wilayah desa sangat luas dan terpencil dan pohon gaharu
tumbuh terpencar-pencar. Namun mereka juga mengetahui bahwa sebagian besar daerah dengan potensi gaharu secara resmi ditetapkan sebagai utan lindung, sehingga penebangan kayu tidakboleh dilaksanakan. Keadaan ini memungkinkan pengembangan kegiatan ekonomis, termasukperlindungan dan pengayaan tanaman gaharu.Pemerintah kabupaten juga menyadari bahwa gaharu adalah sumber pendapatan penting bagi masyarakat yang semakin lama semakin berkurang. Dalam upaya untuk menjamin
keberadaan gaharu di masa mendatang pemerintah kabupaten meluncurkan gerakan “Sejuta Pohon Penghasil Gaharu”. Gerakan ini dan uji coba pertama dengan metode inokulasi merangsang masyarakat Pelancau untuk mulai menanam pohon gaharu.
Selama ini masyarakat Pelancau belum membahas gagasan untuk melindungi pohon gaharu di alam dengan pemerintah kabupaten atau mencoba mendapatkan izin pengelolaan, misalnya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu. Namun hal ini dapat memperkuat posisi masyarakat sekaligus menjadi dasar pengelolaan yang lebih baik. Meskipun demikian, masyarakat Pelancau bersama pemerintah kabupaten tetap perlu mengembangkan strategi penegakan pengelolaan agar menjamin keberlanjutan sumber daya ini.
Pembalakan di hutan masyarakat Sengayan
perkayuan dapat membantu dengan kayuSejak undang-undang otonomi daerah dan undangundang kehutanan tahun 1999, masyarakat Sengayan (sekitar 350 jiwa) dimungkinkan bekerjasama dengan perusahaan perkayuan untuk mengeksploitasi sebagian hutan di wilayah desanya. Pada tahun 2000 sebuah perusahaan perkayuan memperoleh izin pemungutan dan pemanfaatan kayu (IPPK) berdasarkan surat  kesepakatan kerjasama dengan masyarakat Sengayan untuk mengeksploitasi areal seluas 2.000 hektar dari sekitar 10.000 hektar luas seluruh wilayah desa. Kegiatan penebangan berakhir pada tahun 2003 ketika masa berlaku IPPK habis dan IPPK sendiri dianggap ilegal. Keuntungan utama bagi masyarakat adalah tambahan pendapatan tunai dari pembayaran fee (Rp. 20.000 per m3) dan kesempatan untuk memperoleh kayu gergajian karena kendaraan perusahaan bersedia mengantarnya ke desa secara cuma-cuma. Tokoh-tokoh masyarakat senang dengan sistem dimana pemerintah kabupaten dapat menerbitkan izin, karena pemerintah kabupaten relatif lebih mudah dihubungi, hanya perlu dua jam perjalanan dari Sengayan. Walaupun mereka tidak mengalami banyak permasalahan semasa perusahaan beroperasi dibandingkan dengan desa lain, mereka mengaku bahwa pengawasan oleh emerintah kabupaten masih lemah. Karena pengalaman positif ini tokoh-tokoh masyarakat Sengayan berusaha untuk melanjutkan kerjasama untuk mengeksploitasi hutan di bawah peraturan kehutanan yang baru. Namun, mereka tidak memperuntukkan seluruh wilayah desa untuk penebangan kayu. Dalam diskusi yang terus berlangsung, mereka mengembangkan rencana pemanfaatan lahan dan pengelolaan hutan. Dalam proses ini mereka mempertimbangkan aspek seperti keterjangkauan, potensi kayu dan potensi lain, berbagai fungsi hutan (untuk kebutuhan seharihari, perlindungan daerah aliran sungai dan eksploitasi komersial). Pada tahun 2004 mereka membayangkan empat jenis pemanfaatan hutan: hutan produksi untuk eksploitasi komersial oleh perusahaan atau anggota masyarakat  (sekitar 3.000 hektar), Hutan Kas Desa untuk pemanfaatan non komersial, hutan lindung dan hutan pariwisata dimana tidak boleh menebang kayu, masing-masing dengan luas yang hampir sama. Mereka juga mengalokasikan sebagian hutan sebagai cadangan lahan pertanian, misalnya untuk pengembangan kebun karet. Ketika IPPK masih aktif, masyarakat Sengayan juga pernah mempertimbangkan peluang untuk mengoperasikan penggergajian (sawmill) kecil. Masyarakat mengantisipasi bahwa perusahaan yang dapat diolah dengan sawmill. Akhirnya rencana ini tidak pernah terwujud karena IPPk menghentikan kegiatannya. Masyarakat tidak mencoba membangun sawmill kecil secara mandiri. Sekarang ini masyarakat mempertimbangkan untuk menjual kayu gergajian ke Malinau Kota. Mereka mengantisipasi bahwa karena adanya perubahan perundang-undangan kehutanan dan otonomi daerah, perusahaan perkayuan tidak akan beroperasi di wilayah desa Sengayan untuk
waktu yang lama. Sebagai alternatif sementara mereka menggergaji kayu dengan menggunakan chainsaw dan menjualnya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat di ibukota kabupaten. Namun mereka masih ragu memulai kegiatan ini karena khawatir akan sulit mengurus surat-surat izin penjualan kayu gergajian.
Kasus Sengayan menggambarkan ketertarikan tinggi masyarakat untuk ikut terlibat dalam eksploitasi kayu. Mereka telah mempertimbangkan berbagai pilihan yang bisa menjadi sumber penghasilan baru yanglumayan besar. Sebagian pengelolaan hutan akan dilakukan oleh perusahaan perkayuandimana masyarakat bisa terlibat dalam pengawasan. Sebagian anggota masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya hutan di bagian wilayah desa. Tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah ketidakpastian kebijakan dan pembuatan keputusan, kurang keterbukaan dan perubahan undang-undang dan peraturan kehutanan. Kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan perkayuan membutuhkan pendampingan oleh pemerintah kabupaten untuk menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan penerapan peraturan kehutanan.

Pelestarian hutan oleh masyarakat Setulang
Pada saat IPPK menjadi peluang bagi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari pemanfaatan hutan, masyarakat Setulang (sekitar 900 jiwa) memilih melestarikan hutan mereka. Mereka melindungi sisa-sisa hutan primer yang terdapat di wilayah desa, yaitu sekitar 5.000 hektar atau 50% dari seluruh luas wilayah desa. Mereka menetapkan tujuan pelestarian hutan untuk perlindungan sumber air bersih dan daerah perburuan serta jaminan ketersediaan hasil hutan. Setelah ditetapkan hutan lindung mereka mengembangkan aturan adat untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung. Mereka juga membentuk badan pengelolaan khusus untuk mengkoordinasi dan mengawasi pengelolaan. Masyarakat membangun sebuah
pos untuk mendukung kegiatan pemantauan ke hutan dan mulai memasang papan pengumuman untuk meningkatkan kesadaran tentang peraturan yang telah ditetapkan.
Selama IPPK berlangsung (2000 – 2003) terjadi dua kali penyerobotan hutan oleh perusahaan perkayuan ke dalam hutan lindung. Masyarakat menghentikan penyerobotan dengan menahan alat berat, namun negosiasi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah kabupaten belum seluruhnya berhasil. Dalam satu kasus perusahaan didenda, namun hanya 50% dari denda dibayar. Sedangkan dalam kasus kedua, walaupun penyerobotan dihentikan tidak dijatuhkan sanksi terhadap perusahaan.
Pemerintah kabupaten secara lisan telah menyatakan dukungan atas inisiatif ini dan menyesuaikan rencana pembangunan untuk menghindari dampak negatif terhadap hutan lindung. Pemerintah kabupaten juga telah mulai menengahi antara Setulang dan desa tetangga untuk mencoba menyelesaikan sengketa batas pada tahun 2003.
Contoh Setulang menunjukkan komitmen kuat masyarakat untuk melindungi dan mengelola hutan. Mereka telah mengambil tindakan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lindung, namun kegiatan masih awal dan supaya berhasil, memerlukan dukungan dari pemerintah kabupaten dan desa tetangga, koordinasi dengan
desa tetangga dan pengakuan resmi.
Permasalahan Contoh-contoh di atas menggambarkan beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan hutan kemasyarakatan.  Malinau memiliki keunggulan masih ada daerah berhutan yang luas dan kepadatan penduduk yang rendah, sehingga ada banyak pilihan untuk mengembangkan pengelolaan hutan, termasuk hutan kemasyarakatan. Dalam berbagai diskusi, bupati menanggapi positif usulan untuk mencoba bentuk-bentuk baru keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, misalnya pemungutan
kayu skala kecil oleh anggota masyarakat. Namun perubahan dalam peraturan kehutanan bisa menciptakan hambatan dalam pelaksanaan.
Pengalaman dengan IPPK mengakibatkan meningkatnya minat masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan di wilayahnya. Dalam suatu lokakarya yang difasilitasi oleh CIFOR, wakil masyarakat menekankan pentingnya untuk keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian. Di sisi lain pola penghidupan berubah dan keinginan untuk memperoleh pendapatan tunai meningkat, walaupun dengan mengabaikan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Ada berbagai tingkatan kendala bagi pengembangan hutan kemasyarakatan. Di tingkat desa, masyarakat menghadapi beberapa kesulitan karena:
• Kelembagaan desa lemah
• Pola pembagian keuntungan tidak baik
• Tidak ada pengelolaan konflik yang efektif
• Kurangnya informasi tentang pasar dan biaya transport tinggi
• Kurangnya peralatan
• Pengakuan dan hubungan antara peraturan masyarakat dengan peraturan daerah lemah
• Batas dan penguasaan lahan tidak jelas.
 
Di tingkat pemerintah kabupaten masalah utama
adalah:
• Pengalaman dan pengetahuan teknis tentang berbagai pola hutan kemasyarakatan terbatas
• Pengembangan hutan kemasyarakatan membutuhkan banyak tenaga dan pendampingan dari Dinas Kehutanan
• Hutan kemasyarakatan sulit dikembangkan pada skala lebih besar
• Ketidakpastian kerangka hukum tentang hak milik, kehutanan dan pajak/retribusi dan pengaruhnya terhadap akses dan penguasaan atas lahan hutan
• Pemanfaatan lahan yang lebih berpotensi meningkatkan pendapatan daerah
• Daerah luas dan terpencil yang sulit disurvei
• Keraguan bagaimana memadukan hutan kemasyarakatan ke dalam tata guna lahan yang ada.
Di tingkat Pemerintah Pusat masalah utama
adalah:
• Bagaimana mengembangkan peraturan yang menjamin kesinambungan, tetapi cukup luwes untuk memungkinkan penyesuaian sesuai keadaan daerah
• Bagaimana mengembangkan mekanisme perpajakan dan pembagian keuntungan yang tepat bagi berbagai pola hutan kemasyarakatan
• Bagaimana mengawasi dan memantau penerapan peraturan. LSM dapat memberikan dukungan penting, namun menghadapi hambatan seperti:
• Pengembangan hutan kemasyarakatan membutuhkan banyak tenaga dan pendampingan
• Bagaimana menjembatani antara masyarakat dan pemerintah kabupaten
• Bagaimana menterjemahkan pengalaman dari satu tempat menjadi pilihan yang tepat untuk daerah lain
• Bagaimana menghindari terciptanya ketergantungan masyarakat pada LSM.
Bagaimana mulai? 
Walaupun kami menggambarkan adanya berbagai model hutan kemasyarakatan yang berbeda ada beberapa hal yang berlaku umum dan dapat menjadi titik awal pengembangan hutan kemasyarakatan:
• Mengakui dan melindungi pengguna-pengguna yang sudah ada beserta prioritas mereka, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar pangan dan uang
• Mulai dengan uji coba skala kecil
• Masyarakat harus menjadi mitra setara dalam proses atau harus mendorong proses untuk menjamin rasa kepemilikan dan komunikasi yang baik
• Fokus pada aspek teknis (pengelolaan hutan dan sumber daya alam) maupun aspek sosial seperti pembagian yang adil, keterbukaan, pemeriksaan dan keseimbangan di dalam masyarakat dan antar masyarakat dengan mitra lain
• Mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif
• Menjamin hak, misalnya melalui penetapan batas dan hak milik atas lahan atau hak kelola. Desentralisasi membuka pintu untuk pengelolaan hutan skala kecil di Indonesia.
Pertanyaannya adalah peran apa yang dapat diambil oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan skala kecil. Daftar tantangan lumayan panjang, akan tetapi keuntungan yang dapat diperoleh membuat pengembangan hutan kemasyarakatan patut diupayakan. Untuk itu, penting adanya uji coba yang didukung jaringan pembelajaran bersama untuk menyampaikan hikmah dan contoh pada masyarakat di tempat lain. Pemerintah kabupaten harus mendukung inisiatif setempat untuk merangsang diskusi dan dialog kebijakan di tingkat kabupaten dan nasional agar peluang masyarakat untuk ikut serta dalam dan memperoleh manfaat dari kehutanan dapat terwujud.

Center for International Forestry Research, CIFOR
Alamat kantor: Jalan CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang
Bogor Barat 16680, Indonesia.
Alamat surat: P.O. Box. 6596 JKPWB, Jakarta 10065
Indonesia
Tel: +62(251) 622 622 Fax: +62(251) 622 100
E-mail: cifor@cgiar.org
Website: www.cifor.cgiar.org

Tidak ada komentar: