9 Februari 2009

YANG KINI DAN ABADI

Image Oleh : M. Irfan Hidayatullah

Sekelompok remaja mengerubungi sebuah benda di sebuah mal. Sekelompok ibu-ibu mengelilingi barang baru di sebuah toko. Segerombolan bapak-bapak mengelus mobil mengilap di showroom. Pun anak-anak SD itu, memadati warung depan sekolah tempat mainan baru dipajang. Kalau kau rekam mata-mata mereka, temukan sebuah kekhusyukan. Seolah di dunia ini hanya ada satu fenomena yang mereka hadapi; sesuatu yang sedang tren, yang kini, yang di sini, yang (seolah) harus dimiliki. Namun, sayang sekali tidak semua didapatkan. Tak semua mampu meraih yang kini. Banyak yang pulang dengan kepala tertunduk dan mata meredup kosong. Suatu saat kau akan melihat mereka seperti zombi, mayat-mayat hidup, yang digerakkan satu hasrat; memakan, mengonsumsi. Begitupun suatu saat kau temukan mereka akrab dengan harapan di depan televisi. Mereka bahkan menjilati televisi saat ditayangkan iklan es krim terbaru. Mereka mengelus-elus barang-barang yang ditayangkan dan dipajang sekilas. Begitulah seterusnya dan sialnya saat ini tak ada acara tanpa iklan. Jangan ditanya tentang mereka yang mendapatkan hasrat mereka. Mereka tak pernah berhenti pada regulasi hasrat, yang dimiliki cepatlah menjadi basi, diganti dengan sesuatu yang kini baru.

Syukurlah aku sempat membaca cerpen itu, sangat sederhana sih. Tak mengilap dan sensasional seperti cerpen-cerpen berideologi yang kini, tapi pada cerpen itu ada sesuatu yang mengingatkanku. Ya, cerpen itu menggedor tentang perlunya kesadaran transenden untuk menghadapi dunia ini. Cerpen itu karya Danarto dalam kumpulan cerpen terbarunya Kaca Piring (2008). Aku membaca cerpen pertama “Jantung Hati”, menceritakan tokoh saya yang pada hari ia itu mati. Dalam kematiannya ia melihat jenazahnya dikebumikan. Ia juga melihat anak-istrinya menangis di tepi kuburan, melihat teman-temannya yang lain (hlm. 7). Tokoh saya dalam cerpen ini meninggal karena serangan jantung saat mengejar pelaku pengeboman sebuah mal. Saat kematian inilah kemudian tokoh saya menemukan dirinya memiliki kesadaran akan dunianya. (hlm. 8). Tidak sampai di situ, pada posisinya saat itu, yang ia yakini bahwa ia berada pada fase kehidupan berikutnya, yaitu alam kubur, ia menyadari bahwa dunia telah tidak menarik lagi. Dunia baginya adalah masa lalu. Dan ia saat ini telah menjadi subjek pada alam berikutnya. Ia bahkan menyimpulkan bahwa manusia telah salah tafsir tentang kematian dan tertipu oleh tafsir mereka sendiri tentang dunia.

Di alam kubur itulah tokoh saya melihat dunia dengan objektif. Seolah sedang memperlakukan dunia sebagai teks yang ia gumuli kemungkinan maknanya. Ia bahkan menekankan bahwa manusia sangat terkuasai oleh tubuhnya yang ia ibaratkan sebagai pakaian yang sebenarnya, di alam kubur, ternyata hanya membebani.(hlm. 11-12). Ia pun menegaskan dalam ibadah manusia adalah telanjang di mata Tuhan sehingga pakaian tak ada gunanya (hlm. 12).

Setidaknya aku menemukan satu resep lewat cerpen ini, resep menghadapi fenomena yang kini (dunia). Adalah transendensi, ialah visi hidup, adalah keimanan. Transendensi sebenarnya sesuatu yang melampaui kenyataan membius itu, melampaui tren, melampaui yang kini. Transendensi adalah sebuah visi dan visi selalu berada kokoh dalam sebuah ruang iman. Bukankah Danarto mengajak aku dan kau juga membayangkan masa depan yang tak terjangkau logika. Masa depan yang hanya terjangkau oleh iman, yaitu kematian dan apa yang (mungkin) terjadi di sana. Pada cerpen itu dunia adalah masa lalu sedangkan masa depan, visi, alam selanjutnya adalah sebuah keberlanjutan menuju keabadian. Dunia adalah yang kini dan masa depan setelah dunia adalah yang abadi. Pada yang kini amal dihitung; pada yang abadi amal diperhitungkan. Aku ingin mengikuti contoh Danarto, membuat cerpen yang menggedor kekhilafan (kau jugakah?). Bukan keimanan pada yang kini, yang sebenarnya (sudah pasti) segera basi dan selalu berganti. Wallahua’lam.



Bumi Sentosa, 11 Oktober 2008

BLINDNESS

Blindness

Oleh: Lia Octavia

It was just like an ordinary morning. I got up quite late, hurried to school, and missed my mother’s delicious home-made breakfast. Never mind. Although I knew my mother did not like me to go to school without having breakfast but I ignored her anyway.
“I could catch up later, Mom!” I grabbed a bottle of milk, said goodbye to her and ran across the noisy lanes. It was almost seven o'clock and I could not afford to arrive late at school. I had a math test this morning.

“How could I be so stupid?” I grumbled and jumped over a pool of mud. “I had been studying until almost dawn and expected not to be late?” My heart almost stopped beating when I saw long lines of cars, buses and vehicles on the streets: a congestion! I’m definitely going to be late, I said to myself.

I had to take a public minibus and it took me about twenty to twenty five minutes in a normal traffic to get to school. My math test would begin at seven thirty and I did not see that bus stopping at the bus shelter I was at. It must have been stuck in traffic somewhere. I had asked my father to buy me a motorcycle, something almost all what my friends had, but it seemed that expecting my dad to ever buy a motorcycle was just a dream. My father said nothing to me at all regarding the motorcycle, even my mother refused to talk about it. He said that I had to throw away of the idea of having a motorcycle out of my intellectual mind.

I grinned and looked up at the sky. Why did this happen to me? I felt so tired in my mind just waiting for the minibus that seemed never to come. God knows how hard I studied last night and I was sure He will not fail me this time. I looked around. The bus shelter was packed with people waiting for the bus. It would be much better if I waited for that stupid bus over there, across this bus shelter, so I could be the first to get on it and I could pick any seat I want and not waste any more time. I ran as fast as I could with my school bag in my right hand and a bottle of milk in my left hand.

Crash!

“Hey! Are you blind?” a tall handsome young man scolded at me furiously. His fancy white shirt was covered with milk that spilled out from my bottle. Really, I did not see him coming towards me as I ran across the busy street.

“Oh, my God! So-so-sorry, Sir!” I tried to clean up his shirt but I did not really notice what I was doing. My mind was still on the traffic and my math test. I gave a glance at my watch. Seven fifteen. The test should start in another fifteen minutes and I am still here with this stupid man. Where is he coming from? He seemed to appear out of nowhere as if he suddenly seems to fall from the sky and bumped at me. Of course, it’s not my fault.

“Sorry? Just sorry? See what you have done to me! I have an important meeting this morning and your stupid greasy milk is all over me!” that man gripped my hand and forced me to take off my shirt.

“What? No! You can’t do this to me, Sir! You can’t have me take off my shirt! I must get to school! I’m late for my exam. Besides, I said I am sorry. I didn’t see you,” I tried to run away from him but his grip was too hard.

“I said take it off! Now!”

I was all confused and I did not seem to much of a choice. I took off my shirt, gave it to that young man who did not look so handsome anymore. His face looked like a hungry wolf and ready to eat me alive. He grabbed my shirt and went away.

I can’t believe it! Here I was, standing half naked by the busy road, so scared of being late to my math test but now it seemed it did not matter anymore. Of course I could not go to school like this. I had to go back home, put on a clean shirt, listen to my mother's preaching and ran to school. I would miss my math tes.

I could hear people start talking about me now. “Do you see what I see?” asked a young woman to her friends. She looked at me peculiarly and then she and her friends laughed. Their shiny yellow teeth seemed to dazzle me. I almost yelled at them when I heard some school girls laughed at me behind my back. I looked at them fouriously but they kept on laughing.

“We didn't see anything,” they said and burst into laugh.

“Yeah... laugh until you die!” I said harshly back at them.

I was standing angrily by the road. I was angry at the traffic jam and all the noise it made which only add to my spinning head; angry at my father who did not care to buy me a motorcycle, angry at the man who took my shirt, angry at the girls who laughed at me, angry that I missed my math test. I was angry at the world. The air seemed to stop flowing and I could hardly breathe. Life sucks.

“Young man, calm down! It’s just blindness,” a gentle and kind voice reached my ears. A middle-aged woman wearing a thick coat was standing beside me and smiled at me.

Blindness? What is she talking about? I did not understand and could not think. I held my school bag tightly. I could not afford to handle another robbery.

“Do you think blindness simply means inability to see things ? Don’t you think there are things you see but is not supposed to be seen? When someone loses their sight and unable to see, they are blind. But even when your eyes are wide open, you have plain sight, you can see things around you, and yet you don't realize they exist and move on in life, then, you are blind while you can see them.”

I was starring at her. Something was strange with this lady but I could not really put my hands on it.

“You knew that you have a test this morning and you knew that traffic jam is some sort of ritual of this city but still you just don't get it. You don’t try to start up earlier and do something about it. And then you ran about along the busy streets and bumped into a man. You wouldn't spill your milk all over him if you didn’t bring it with you and you wouldn’t bring it with you if you drank it before you left home. Why you didn’t drink it before you left home? Well... you got up late. Why? You studied until almost dawn. Why? You have a test this morning, a math test, which you will never be able to attend to now. Am I right? And now you got angry at what happened to you and you just don’t see that whatever happened to you this morning, you got yourself to blame, ...and not the others?”

I was speechless word. Why wasn’t I? She smiled at me and said gently, ”It’s just blindness. Don’t worry! Everything will be alright when you get over it and can see things clearly.” And then she left, swaying her bag in her left arm and waving at me with her other are as she walked away from me.

I looked at my watch. It was almost eight o’clock. She was right. I missed my math test, lost my shirt, lost my temper and most of all, lost my time. I could not turn back the clock and rewrite them all over again right from when I should prepare myself for my math test. And that's all because of my blindness. And most of all, I did not have any idea what her name was and why she knew so much of what happened to me this morning. I was just to mesmerized at the things she said.

The sun shone brightly. I wiped out the sweat from my forehead. It was hot. All of a sudden, on my way back home, I realized something. There was something strange with the woman that I just had seen. I guess I could never get an answer why she wore such a thick coat in this hot weather. Or maybe I was too blind to see?***

SINOPSIS PERAHU KERTAS

SINOPSIS " PERAHU KERTAS "


Kisah ini dimulai dengan Keenan, seorang remaja pria yang baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Keenan memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Keenan diterima berkuliah di Bandung, di Fakultas Ekonomi.

Di sisi lain, ada Kugy, cewek unik cenderung eksentrik, yang juga akan berkuliah di universitas yang sama dengan Keenan. Sejak kecil, Kugy menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Kugy sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Kugy lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.

Kugy dan Keenan dipertemukan lewat pasangan Eko dan Noni. Eko adalah sepupu Keenan, sementara Noni adalah sahabat Kugy sejak kecil. Terkecuali Noni, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung.Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.

Lambat laun, Kugy dan Keenan, yang memang sudah saling mengagumi, mulai mengalami transformasi. Diam-diam, tanpa pernah berkesempatan untuk mengungkapkan, mereka saling jatuh cinta. Namun kondisi saat itu serba tidak memungkinkan. Kugy sudah punya kekasih, cowok mentereng bernama Joshua, alias Ojos (panggilan yang dengan semena-mena diciptakan oleh Kugy). Sementara Keenan saat itu dicomblangkan oleh Noni dan Eko dengan seorang kurator muda bernama Wanda.

Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Kugy lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Kugy menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Keenan.

Kedekatan Keenan dengan Wanda yang awalnya mulus pun mulai berubah. Keenan disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Keenan meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Wayan.

Masa-masa bersama keluarga Pak Wayan, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Keenan pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Luhde Laksmi, keponakan Pak Wayan. Keenan mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Kugy padanya, Keenan menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Kugy, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Remigius, atasannya sekaligus sahabat abangnya. Kugy meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Remi melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Kugy bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Kugy. Dan akhirnya Remi harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Remi juga akhirnya meluluhkan hati Kugy.

Sayangnya, Keenan tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Keenan terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Kugy dan Keenan tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.

Diwarnai pergelutan idealisme, persahabatan, tawa, tangis, dan cinta, “Perahu Kertas” tak lain adalah kisah perjalanan hati yang kembali pulang menemukan rumahnya.