Oleh Andari Karina Anom
Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam
pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling
tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman
tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa
tempat di Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.
Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di
Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana
jenazah leluhur. Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di
pedalaman Toraja Utara — sebuah kabupaten baru. Biasanya, Ma’ Nene’
digelar tiap bulan Agustus.
Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan
orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di
arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah
berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih
utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang
melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.
Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga besar.
Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai wujud
kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah
meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka
dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Dari mana asal muasal ritual Ma’ Nene’ di Baruppu? Kisah
turun-temurun menyebutkan, pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemburu
binatang bernama Pong Rumasek. Saat sedang berburu di kawasan hutan
pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia malah menemukan
jasad seseorang yang telah lama meninggal dunia. Mayat itu tergeletak di
bawah pepohonan, telantar, tinggal tulang-belulang
.
Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu semampunya.
Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, lalu
diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek
melanjutkan perburuannya.
Tak dinyana, semenjak kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu,
ia selalu beroleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke
dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati
tanaman padi di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen
sebelum waktunya.
Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat
welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak bernama yang
ditemukannya saat berburu.
Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma’ Nene’.
Dalam ritual Ma’ Nene’ juga ada aturan tak tertulis yang mengikat
warga. Misalnya, jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka
pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma’
Nene’ untuknya.
Ketika Ma’ Nene’ digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran
ke seantero negeri akan pulang kampung demi menghormati leluhurnya.
Warga Baruppu percaya, jika Ma’ Nene’ tidak digelar maka leluhur juga
akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa
warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan
tanaman yang subur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar